Friday, January 25, 2008

Perang Paderi: The pros and cons continue ... (follow-up of a posting from last year)


Pada hari Selasa, 22 Januari 2008, bertempat di Gedung Arsip Nasional RI telah diselenggarakan Diskusi Panel mengenai PERANG PADERI, 1803-1838, ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA, DAN MANAJEMEN KONFLIK.

Diskusi ini dapat dikatakan suatu peristiwa yang bersejarah, karena untuk pertama kalinya konflik kekerasan yang terjadi di masa lalu yang melibatkan tiga etnis / suku, yaitu Minangkabau, Batak dan Melayu Riau, dibahas bersama dalam suasana keakraban dan persaudaraan dengan semangat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mungkin ini dapat menjadi “model penyelesaian” konflik yang terjadi antar etnis/suku lain di Indonesia.

Pembukaan oleh Kepala Arsip Nasional, Djoko Utomo.

Pembicara:

1) Prof Dr Taufik Abdullah, tentang dinamika konflik dan konsensus antara Adat dan Islam di Minangkabau.

2) Prof Dr Franz Magnis Suseno, tentang pengalaman Perang 30 Tahun antara penganut Protestan dan Katolik di Eropa Barat, 1618-1648, serta penyelesaiannya dalam Perjanjian Westphalia.

3) Prof Dr `Azyumardi Azra, M.A tentang aneka makna ”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

4) Dari MUI, tentang Mazhab Hanbali dan Kaum Wahabi.

Paparan makalah dari masyarakat Minangkabau, baik dari Ranah di Sumatera Barat,maupun yang di Rantau, masyarakat Mandailing/Batak di Provinsi Sumatera Utara, dan masyarakat Melayu Riau di Provinsi Riau.

Makalah dari masyarakat Provinsi Sumatera Barat, disampaikan oleh:

1) Prof. Dr. Asmaniar Idris,M.A.

2) Bachtiar Abna, SH, MH, Dt Rajo Penghulu.

3) Drs. H.Sjafnir Aboe Nain.

Makalah dari masyarakat Mandailing/Batak disampaikan oleh:

1) Prof. H. Bismar Siregar, SH.

2) Batara R. Hutagalung.

Makalah yang mewakili Provinsi Riau, disampaikan oleh Prof. Dr. Suwardi M.S.

Acara ditutup oleh Mayjen TNI (Purn.) Asril Tanjung, Ketua Gebu Minang

Di bawah ini adalah kesimpulan sementara dari diskusi panel tersebut.

Arsip Nasional RI akan membukukan semua makalah.

Ringkasan buku Mangaraja Onggang Parlindungan: “Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. 1816 – 1833” dan makalah yang disampaikan oleh Batara R. Hutagalung dalam diskusi panel tersebut, dapat dibaca di weblog http://batarahutagalung.blogspot.com.

Batara R. Hutagalung

================================================

TIM PERUMUS

DISKUSI PANEL PERANG PADERI, 1803-1838

ASPEK SOSIAL BUDAYA, SOSIAL PSIKOLOGI, AGAMA,

DAN MANAJEMEN KONFLIK

JAKARTA, 22 JANUARI 2008.


KESIMPULAN SEMENTARA

[Draft awal Kesimpulan Sementara ini disusun oleh Dr. Saafroedin Bahar, dan disunting pertama kali oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah. Naskah yang sudah disunting ini dibahas lebih lanjut oleh Tim Perumus yang nama-nama dan tandatangannya tercantum di bagian akhir naskah ini. Kesimpulan ini kemudian dibacakan di depan Sidang Paripurna oleh Bp. H.Azaly Djohan S.H dari Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, didamping oleh Batara R. Hutagalung dan Dr. Saafroedin Bahar.]

Suatu benang merah yang terlihat dengan jelas dalam demikian banyak cerita rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dambaan akan adanya suatu masyarakat yang damai, makmur, dan sejahtera dan dipimpin oleh pemimpin visioner yang memerintah dengan adil dan bijaksana.

Gerakan Paderi berlangsung selama 35 tahun, 1803-1838, di daerah-daerah yang sekarang merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Riau. Pada dasarnya Gerakan Paderi ini dapat dipandang sebagai bagian dari proses panjang penyesuaian antara adat dan budaya Minangkabau yang bersifat lokal dengan ajaran agama Islam yang bersifat universal.

Gerakan Paderi ini mencakup tiga babak, yaitu babak Gerakan Paderi 1803-1821 sebagai gerakan intelektual pemurnian agama Islam dari berbagai kebiasaan masyarakat yang dilarang agama; Perang Paderi 1821-1833 merupakan taraf awal dari peperangan melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda; dan Perang Minangkabau, 1833-1838 sewaktu seluruh masyarakat Minangkabau bersatu untuk melakukan perlawanan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dalam babak ketiga melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini sangat terkenal peranan Tuanku Imam Bonjol di daerah Minangkabau dan Tuanku Tambusai di daerah Riau, sehingga dalam rangka pembangunan semangat kebangsaan pasca kemerdekaan, kedua beliau tersebut dianugerahi oleh Pemerintah dengan gelar “Pahlawan Nasional” dan sudah barang tentu merupakan kebanggaan dari penduduk di daerah asalnya masing-masing, dan tidak perlu dipermasalahkan karena sudah berkekuatan hukum.

Diskusi panel ini adalah upaya pertama kalinya untuk menjernihkan masalah kekerasan yang terjadi dalam sejarah masa lampau yang meliputi masyarakat beberapa daerah. Walaupun pada mulanya ada kekhawatiran akan terjadinya reaksi yang bersifat emosional terhadap beberapa hal yang dirasakan cukup peka, namun dari beberapa kali pertemuan pendahuluan yang dilaksanakan di beberapa daerah terbukti bahwa bukan saja masyarakat daerah sudah dapat bersikap dewasa, tetapi juga telah memberikan penafsiran yang lebih rasional—bahkan bantahan—terhadap pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam beberapa buku dan artikel mengenai Perang Paderi ini.

Kajian yang dilakukan oleh beberapa pemakalah menunjukkan bahwa pada awalnya Gerakan Paderi bukanlah merupakan suatu gerakan bersenjata, tetapi merupakan cerminan dari revolusi intelektual yang keras untuk memurnikan pengamalan ajaran agama dalam masyarakat yang sudah menganut agama Islam selama lebih dari dua abad. Kekerasan yang terjadi kemudian adalah merupakan ekses dari fanatisme, yang baru disadari setelah amat terlambat. Dalam hubungan ini adalah juga amat menarik untuk diketahui, bahwa sambil melanjutkan perjuangan bersenjata melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Tuanku Imam Bonjol dalam buku hariannya ternyata bukan saja mengadakan renungan ulang terhadap terjadinya kekerasan sesama penganut agama Islam, tetapi juga menyesalinya. Lebih dari itu beliau menyatakan bahwa perampasan, pembakaran, dan pembunuhan yang terjadi merupakan suatu hal yang tak diingini dan dilarang agama Islam terhadap sesama muslim. (Lihat makalah Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando

Marajo, “Posisi Sumpah Sakti Bukit Marapalam sebagai Kesepakatan Paska Padri”, makalah pada Diskusi Panel Perang Paderi, 22 Januari 2008, h. 7.)

Adapun mengenai kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Bukit Marapalam atau Sumpah Satie Bukik Marapalam, yang berisikan ajaran “Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah”—yang biasa disingkat sebagai ABS SBK dan biasanya dianggap disepakati pada tahun-tahun terakhir Perang Paderi sekitar tahun 1837—walaupun ada informasi bahwa ajaran tersebut sudah ada sejak tahun 1686, atau 151 tahun sebelumnya. Di Bukit Marapalam ini juga berlangsung beberapa kali pertemuan dengan tema serupa.

[Dengan demikian, kelihatannya posisi Bukit Marapalam pada saat itu bagaikan posisi Jenewa di zaman sekarang, yaitu sebagai lokasi terjadinya beberapa peristiwa besar. Drs. H. Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo, op.cit. h. 2, h.8. Amat menarik untuk diperhatikan bahwa masalah yang menjadi pusat perhatian ABS SBK ini adalah masalah harta pusaka dan harta pencaharian, yang ternyata masih menjadi masalah sampai saat ini.]

Kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi ini bukan hanya bermanfaat untuk sekedar mengetahui kebenaran fakta-fakta sejarah masa lampau, tetapi juga untuk memantapkan identitas masyarakat dari masyarakat yang terkait.

Bagi masyarakat Batak, kajian kesejarahan terhadap Perang Paderi akan memberikan pencerahan bukan hanya tentang mengapa masyarakat Batak bagian utara beragama Kristen dan masyarakat Batak bagian selatan beragama Islam, tetapi juga untuk mengambil hikmah dari sejarah ketika kekerasan dilakukan atas nama sesuatu yang tidak bisa diperdebatkan.

Bagi masyarakat Minangkabau, kajian terhadap sejarah Gerakan Paderi ini bukan hanya menjelaskan tentang adanya tiga babak Gerakan Paderi tersebut, tetapi juga kenyataan bahwa adanya kesadaran pimpinan Paderi bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan keadilan. Kajian ini memberi bahan bagi kaum terpelajar Sumatera Barat untuk membantu menyelesaikan draft pertama Kompilasi Hukum ABS SBK yang sudah dikumandangkan sebagai jati diri Minangkabau.

Pada masyarakat Melayu pada umumnya, kajian terhadap Perang Paderi ini lebih mengukuhkan kebanggaan terhadap Tuanku Tambusai, Panglima Perang Paderi terakhir, yang telah melanjutkan Perang Paderi dan tidak dapat ditundukkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Diskusi panel ini bukanlah akhir dari wacana mengenai Perang Paderi yang terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Diskusi panel ini merupakan awal dari rangkaian kajian pendalaman demi membangun masa depan yang damai, makmur, dan sejahtera, sebagai bagian menyeluruh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita bangun dan kembangkan bersama.

Kepada seluruh kalangan yang telah memungkinkan terlaksananya Diskusi Panel ini, khususnya kepada pimpinan dan jajaran Arsip Nasional, pimpinan Gebu Minang, Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, para panelis, serta para donatur, atas nama seluruh peserta Diskusi Panel Tim Perumus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Semoga Allah subhana wa taala menganugerahkan taufiq, hidayat, dan inayah-Nya kepada kita semua.

Jakarta, 22 Januari 2008.

TIM PERUMUS,

1. H.M. Azaly Djohan S.H. ,Sekr.Nasional M.H.A.

2. Batara R.Hutagalung.

3. Prof. Dr.Suwardi M.S.

4. Bachtiar Abna S.H., M.H. LKAAM Sumbar.

5. R.E. Ermansyah Yamin Gebu Minang

6. Drs. H.Sjafnir Aboe Nain, Penulis.

7. H.Mas’oed Abidin, PPIM

8. Drs. H. Farhan Moein Dt. Bagindo.

9. Prof.Dr. Syafrinaldi, S.H. MCL

10. Amrin Imran.

11. Dr. Saafroedin Bahar

Diketik kembali dengan suntingan redaksional seperlunya oleh Dr.Saafroedin Bahar

Jakarta, 23 Januari 2008.

No comments: