Tuesday, December 4, 2007

Night Shifter

Tentang pekerja shift malam dan tentang lain-lain...

It was once scientific heresy to suggest that smoking contributed to lung cancer. Now, another idea initially dismissed as nutty is gaining acceptance: the graveyard shift might increase your cancer risk.

Next month, the International Agency for Research on Cancer, the cancer arm of the World Health Organization, will classify shift work as a "probable" carcinogen.

That will put shift work in the same category as cancer-causing agents like anabolic steroids, ultraviolet radiation, and diesel engine exhaust.

If the shift work theory proves correct, millions of people worldwide could be affected. Experts estimate that nearly 20% of the working population in developed countries work night shifts.

Di atas adalah paragraf-paragraf awal dari suatu tulisan panjang yang disiarkan The Associated Press baru-baru ini. Intinya: pekerja shift malam cenderung lebih mudah terkena kanker. Setidaknya demikian temuan suatu studi ilmiah di Amerika Serikat.

Artikel yang cukup membuat aku berpikir ulang tentang “gaya hidup” yang aku jalani selama ini, yang, memang sama sekali tidak bisa digolongkan pada “gaya hidup sehat.”

Baru-baru ini dokter umumku, Dr. Tony Iman, menganjurkan aku untuk menjalani pemeriksaan hematologi lengkap. Sesuatu yang sampai tulisan ini kubuat, belum juga kulakukan.

Ada kekhawatiran bahwa akan banyak sekali masalah terkait kesehatan yang terungkap jika aku melakukan itu—dan pada saat ini, aku sama sekali tidak siap untuk menerima informasi tentang masalah-masalah yang sangat mungkin ada tersebut.

Di satu pihak aku memang praktis seorang fatalis, di lain pihak aku juga khawatir untuk menerima “kenyataan-kenyataan” buruk karena begitu banyak (utang) pekerjaan yang masih harus aku selesaikan.

Mungkin dalam beberapa waktu ke muka—saat aku sudah merasa lebih "nyaman"—aku akan menjalani pemeriksaan hematologi itu. Baru beberapa jam lalu aku menyadari, ada suatu laboratorium klinik yang terletak sangat dekat dari kantorku yang bisa kudatangi. Mungkin—ya, mungkin—aku akan mengunjungnya dalam beberapa hari ini.

Entah mengapa, rasanya aku belum benar-benar “sanggup” saat ini. Barangkali karena baru akhir bulan lalu aku berhenti berkunjung terus-menerus selama dua minggu ke rumah sakit untuk menjalani diatermi. Bukan proses yang menyenangkan karena seolah mengingatkan aku lagi betapa “rawan”-nya diriku ini oleh penyakit tertentu karena ibuku, kakekku, kakakku, semua meninggal dunia karena kanker.

Sebulan lalu dengan “terpaksa” setelah nyaris 10 tahun tak pernah berurusan dengan ginekolog aku harus menjumpai Dr. H. Muki Reksoprodjo, SpOG, yang lebih duapuluh tahun lalu membantu kelahiran kedua putriku.

Hasilnya: ya diatermi tadi! Selain obat-obatan yang sungguh menyiksa karena menimbulkan rasa mual luar biasa sementara setiap malam aku harus bergelut dengan tulisan, tulisan dan tulisan—dalam bahasa Inggris pula! Bahasa yang kadang sangat kurasakan manfaatnya karena dalam banyak hal “lebih ekspresif” dibanding bahasa Indonesia. Namun, kadang juga membuatku bertanya-tanya: masih bisakah aku menghasilkan tulisan yang mudah dicerna dalam bahasa Indonesia. [Jangan salah dan mengartikannya sebagai bahwa bahasa Inggrisku “sungguh baik dan benar”—bagaimanapun aku tidak pernah mempelajari bahasa tersebut secara formal.]

Catatan ini kutulis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari upayaku untuk mencaritahu apakah benar—sebagai dikatakan beberapa teman—tulisanku dalam bahasa Indonesia serasa ditulis oleh orang yang bukan berbahasa ibu bahasa Indonesia. Alamak!

Kembali ke soal diatermi tadi…Pada saat tulisan ini kubuat, sudah lengkap aku jalani. Aku juga sudah menemui Dr. Muki kembali dan ia hanya mengatakan “semua sudah mengempis dan radang sudah mulai hilang.” Selanjutnya, “ya, kontrol rutin.”

Kedengarannya memang ringan: kontrol rutin. Tapi buat aku yang terbiasa mengabaikan keluhan fisik, hal itu bisa menjadi perkara besar. Terlalu kuat godaan yang harus aku hadapi untuk TIDAK melakukannya meski berulang-kali Muki menyatakan “being careful jauh lebih baik daripada being careless.” [Kutipan verbatim! Dia menggunakan bahasa Inggris untuk mengeskpresikan isi kepalanya! He, he, he….]

Baiklah, rasanya memang masih harus dilihat apakah aku akhirnya akan benar-benar terdorong melakukan kontrol rutin DAN menjalani pemeriksaan hematologi lengkap dalam waktu dekat.

Yang pasti hari-hari belakangan ini memang membuat aku banyak mengilas balik momen-momen tertentu dalam perjalananku. Teman-teman yang belakangan memberi begitu banyak warna pada kehidupanku: mereka yang hingga detik ini masih berupaya mempertahankan apa yang kita coba bangun bersama lebih setahun lalu: BN, HK, CJ, BZ, IK plus semua di newsroom dan unit umum, administrasi / keuangan, GF yang sekarang sedang berjuang melawan kanker dan setiap menit selalu ada dalam doaku dan doa teman-teman, DP, MN, PD di IMD Raden Saleh serta AP, SL, PS, PC, di SCHS Kuningan.

Tentu banyak pula nama-nama sebelum mereka yang juga memperkaya rute yang sudah kutempuh, terutama di ANT (tempat di mana aku pertama kali bekerja secara profesional dan juga tempat yang mendepakku keluar 12 tahun kemudian).

Ingat dad, mom, elder sis [oops, again English words!] dan banyak lagi sehingga kemudian muncul pertanyaan apakah kehadiranku selama ini di antara mereka semua juga meninggalkan jejak—dan yang lebih penting lagi apakah jejak itu baik atau buruk?

Aku, tentu saja, tidak bisa menjawabnya sendiri. Tapi memang aku masih harus mengerjakan banyak hal yang seharusnya sudah jauh lebih awal aku lakukan.

Sementara itu, hari-hari di muka, tampaknya masih harus aku lalui dengan sangat susah payah, including as a night-shifter who is prone to cancer [….he, he, he can’t help to write it down in English. But do forgive me, this is, at least for now, the final sentence after all.]

No comments: